RSS

Lha lak thekor aku !!!


Pagi itu Totok duduk selonjor di emperan halaman rumah saya. Ia duduk tepat di samping sepeda motornya yang sedang membonceng dua keranjang penuh sayuran. “Sayur…sayur,” teriaknya sembari mengelap tetesan keringat yang meluncur menelusuri ruas wajahnya.

Ya, Totok adalah tukang sayur yang setiap pagi melintas di gang rumah. Usianya sekitar 30 tahunan. Karena sudah langganan, saya pun tahu dari istri bahwa dia sudah beranak dua. Yang pertama SMP, dan yang kedua masih duduk di bangku SD.

Entah kenapa, pagi itu tiba-tiba nalar saya menggelitik untuk mencari korelasi antara Totok dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Sudah bisa ditebak, yang terlintas di pikiran saya hanya ada satu. Yakni sebuah justifikasi yang dilandasi sikap pesimis sehingga menempatkan Totok sebagai korban yang terabaikan.

Totok, barangkali, adalah sebuah deskripsi dari kesengsaraan wong cilik. Bagaimana tidak ? Yuk, kita hitung bareng-bareng. Tapi jangan dibayangkan ilmu yang akan kita pakai untuk menghitung adalah ilmu beneran seperti layaknya seorang pakar ekonomi atau jago hitung dari perguruan menara gading. Tidak. Ini hanyalah ilmu goblok-goblokan ala warung kopi.

Untuk menghidupi keluarganya, Totok hanya mengandalkan hasil dari berjualan sayur. Dengan kata lain, keuntungan dari berjualan sayur adalah satu-satunya sumber penghasilan baginya. Taruhlah Totok adalah satu-satunya pedagang sayur yang paling mujur sedunia karena bisa meraup laba Rp 1 juta perhari (wuik…ngalah-ngalahne dodolan hp). Berarti sebulan Totok bisa mengantongi Rp 30 juta.

Sekali lagi, berjualan sayur adalah satu-satunya penghasilan bagi Totok. Padahal, lubang pengeluaran sangat banyak. Dari uang Rp 30 juta itu, Rp 20 juta diberikan kepada istrinya untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Seperti beli beras, minyak goreng, gas elpigi, sabun mandi, sikat, odol, sabun cuci, sampai beli pembalut untuk istrinya ketika sedang kedatangan tamu.

Sisa Rp 10 juta. Yang Rp 5 juta dialokasikan untuk kedua anaknya. Digunakan untuk membayar uang SPP sekolah, buku tulis, buku pelajaran, pensil, penghapus, dan lain-lain. Juga termasuk uang jajan untuk beli pentol cilot, tempura, arbanat, jireng, pop ice, ice cream, es lilin sampai mainan anak-anak. Sebagian lagi untuk biaya langganan antar jemput sekolah bagi kedua anaknya.

Masih sisa Rp 5 juta. Totok memanfaatkan sisa uangnya untuk membayar tagihan listrik, air, telepon, PDAM, bayar asuransi, biaya langganan TV Kabel, tagihan Telkom Speedy sampai tagihan kartu kredit. Ludes sudah uang hasil jualan sayur sebanyak Rp 30 juta.

Tiba-tiba, pemerintah menaikkan harga BBM. Sebagaimana tradisi sebelumnya, kenaikan harga BBM selalu diikuti kenaikan harga-harga lainnya. Hanya satu yang tidak terpengaruh kenaikan harga BBM, yakni harga diri. Dari jaman nenek moyang sampai era globalisasi ini, harga diri bangsa ini ya segitu-segitu aja.

Suatu hari, kedua anaknya menghadap ke Totok. “Pa, mulai besok jatah uang kami berdua harus dinaikkan. Minimal Rp 10 juta. Pokoknya harus,” kata anaknya yang sulung.

Totok segera meminta klarifikasi kepada kedua anaknya. Kedua anaknya pun menyerahkan satu bendel proposal kepada Totok. Buru-buru Totok menyambar bendelan proposal itu dan langsung mempelajarinya. Ternyata, sejak pemerintah menaikkan harga BBM, uang SPP otomatis ikut naik. Harga buku tulis naik, buku pelajaran naik, pensil naik, penghapus naik. Begitu juga di pos belanja makanan dan minumunan. Harga pop ice naik, ice cream naik, pentol cilot naik, tempura naik, arbanat naik, jireng apalagi. Tak mau ketinggalan biaya langganan antar jemput sekolah juga ikut naik.

Belum selesai Totok lenger-lenger, istrinya datang dan langsung melemparkan proposal yang tebalnya dua kali lipat. “Mulai bulan depan, jatah bulanan harus di atas Rp 35 juta,” tukas istrinya.

Apa-apaan ini ? Begitu pikir Totok. Dia pun buru-buru membaca lembar demi lembar proposal yang disusun istrinya. Harga beras naik, kecap naik, minyak goreng naik, gas elpiji naik, sabun mandi naik, sabun cuci naik, sikat naik, odol naik. Termasuk roti tawar kesukaan istrinya alias pembalut juga naik.

Totok hanya terdiam. Sesaat kemudian dia mengambil laptop dan menyalakannya. Ia berusaha mempelajari pembukuan hasil jualan sayurnya. Dulu, harga kulakan iwak tongkol cuman Rp 2.000. Dijual Rp 3.000. Berarti untung Rp 1.000. Tapi sekarang, kulakannya jadi Rp 3.000. “Saya jual Rp 4.000. Berarti untung saya tetap Rp 1.000 dong,” pikirnya.

Lalu Totok mengintip pergerakan harga lombok. Dulu, kulakannya Rp 6.000 dijual Rp 8.000. Berarti untungnya Rp 2.000. Tapi sejak BBM naik, kulakannya saja jadi Rp 9.500. “Tapi tadi tak kasih ke Bu Pardi Rp 11.500. Nah, untung saya tetap Rp 2.000. Lha wong coba saya tawarkan Rp 12.000 banyak yang mencak-mencak,” Totok mengernyitkan dahi.

Totok semakin berpikir keras. Ia jadi teringat pelajaran sewaktu ambil program S3 di Havard Univercity. Ia berusaha membuat sebuah kesimpulan. Kalau dulu sebelum BBM naik, omzet penjualannnya Rp 100 juta perbulan. Dari angka itu dapat untung Rp 30 juta perbulan. Nah sekarang, omzetnya naik tajam hingga menembus Rp 175 juta perbulan.

“Tapi, untung saya tetap Rp 30 juta perbulan. Berarti kenaikan BBM hanya akan menaikkan omzet. Tapi tidak menaikkan laba. Padahal, kebutuhan naik ga karuan. Istri yang dulu hanya diberi Rp 20 juta perbulan sekarang minta Rp 35 juta perbulan. Anak yang dulu saya beri Rp 5 juta sekarang minta Rp 10 juta perbulan. Lha…lak thekor aku,” teriak Totok.

Ya, sekali lagi Totok hanyalah deskripsi khayalan saya tentang sosok wong cilik yang memilih jalan berdagang. Bahwa ternyata, kenaikan harga BBM hanya akan menaikkan omzet penjualan saja. Tapi tidak menaikkan profit. Kalaupun ada kenaikan profit, jelas prosentasenya relatif lebih kecil dibandingkan pergerakan harga kebutuhan yang harus dikeluarkan.

Asumsi ini bisa dibenarkan. Mengapa ? Sebab sekalipun harga kulakan mengalami lonjakan, tapi untuk mendapatkan profit margin yang lebih besar, pedagang akan berpikir seribu kali. Sebab, dia harus berhadapan dengan para pembeli yang sudah dipusingkan oleh kenaikan harga. Apalagi di tengah sengitnya persaingan bisnis, menaikkan harga yang dilatarbelakangi motivasi untuk menaikkan profit margin, jelas bukan pilihan yang tepat untuk bisa survive. Akan sangat berbeda jika kenaikan harga disebabkan naiknya harga kulakan dengan asumsi profit margin yang tetap. Pilihan ini akan lebih bisa diterima konsumen.

Jika ilmu goblok-goblokan ini bisa diuji kebenarannya secara ilmiah, berarti hakekatnya Totok sedang bergerak menuju garis kemiskinan. Apalagi jika Totok hanya berpangku tangan dengan bersandar pada rutinitas yang selama ini dilakukan, asumsi ini tentu saja semakin mendekati kebenaran. Artinya lagi, jumlah warga miskin akan semakin bertambah dari tahun ke tahun.

Saya teringat lagunya Rhoma Irama. “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Pada saat bersamaan, lamunan saya tentang kemiskinan pun menghilang. Ketika itu saya sadari bahwa Totok yang tadinya beristirahat di emperan halaman rumah sudah pergi menjajakan dagangannya. Yang tersisa di emperan halaman rumah saya hanyalah semangat Totok yang sedang bercengkerama dengan ancaman kemiskinan yang semakin dekat.
1 komentar

Posted in

  1. Dody Ide

    Selasa, 03 Juni, 2008

    Hidup BLT...!!! Bantuan Langsung Telas....Bantuan Lewat Thok....Beban Lebih Terasa...Bingung Lunasi Tunggakan...Bathi Langsung Tekor...Bathin Lebih Tertekan...Bunyek Loyo Tewas...

    http//:padhangjingglang.blogspot.com

Posting Komentar

Ada Komentar ?

By MasKaji. Diberdayakan oleh Blogger.