Mencari Presiden Pro Rakyat
(Tulisan ini dikirim dari penulisnya atas permohonan langsung dari pemilik blog ini)
Kehidupan kian sulit bagi kebanyakan rakyat, terlebih bagi mereka yang pendapatannya amat kecil. Akibat harga BBM naik tentu kehidupan rakyat kecil semakin susah.
Pemerintah membela diri bahwa tidak ada pilihan selain menaikkan harga BBM. Padahal dulu Presiden SBY menyatakan pada Nopember 2007 bahwa menaikkan harga BBM bukanlah opsi yang akan dimabil Pemerintah. Tentu dalihnya ialah bahwa harga minyak di pasar dunia naik dengan tingkat yang tidak terduga. Seorang ahli dari AS pernah menulis buku (2005) yang mengemukakan pendapat bahwa harga minyak akan mencapai US $ 200/barrel (2010) dan bisa menembus US $ 100/barrel (2008). Tampaknya perkiraan itu diabaikan oleh Pemerintah dengan akibat fatal.
Apakah betul tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah kecuali menaikkan harga BBM? Sejumlah ahli ekonomi menyatakan bahwa masih ada pilihan lain. Rizal Ramli secara terbuka menantang Presiden plus para menteri berdebat tentang masalah itu. RR mengkritik, Pemerin tah beraninya jangan hanya kepada rakyat. Tidak jelas apakah tantangan itu akan diladeni atau tidak. JK menjawab bahwa RR ketika menjadi Menko Perekonomian juga tidak mampu membuat prestasi berarti.
Saya menerima SMS tentang pendapat seorang ahli ekonomi yang isinya "...dengan menaikkan harga BBM 30%, pemerintah menghemat Rp 25-30T. Sekitar Rp 13 T dikembalikan sebagai BLT yang tidak akan efektif. Jadi penghematan netto maksimum adalah Rp 17 T. Jika targetnya Rp 17 T, dengan pajak progresif atas minyak sebenarnya bisa diperoleh maks Rp 15 T. Kalau ditambah gas, batubara, nikel, tembaga, dan perkebunan, tambahan penerimaannya bisa sampai Rp 25 T (termasuk minyak). Belum lagi kalau Pemerintah melakukan penghematan belanja negara hingga 20%, renegosiasi pembayaran bunga utang (termasuk bunga obligasi rekap yang fixed rate) dan pemangkasan calo-calo ekspor dan impor minyak. Jadi kalau hanya untuk hemat APBN, banyak cara yang bisa ditempuh. Karena itu alasan yang sebenarnya bukanlah menghemat APBN, tapi adanya tekanan dari kreditor dan investor asing, yang khawatir nilai asetnya anjlok dan yang ingin mendapat yield lebih tinggi dari bonds yang diterbitkan pemerintah…"
Tentu pendapat tadi belum tentu benar, tetapi argumentasinya masuk akal. Jadi tidak salah kalau banyak yang beranggapan bahwa Presiden SBY tidak pro rakyat. Betul keputusan itu adalah atas saran para menteri dan juga Wapres, tetapi tanggungjawabnya ada pada Presiden. Mungkin atas dasar itu juga Amien Rais mengajak rakyat tidak memilih SBY lagi. Sebaliknya, pihak Pemerintah berpendapat kalau BBM tidak dinaikkan, APBN akan jebol yang akibatnya akan lebih menyengsarakan rakyat. Sejalan dengan pendapat itu, menaikkan BBM itu adalah kebijakan pro rakyat. Betul kalau APBN jebol kita semua akan sengsara. Masalahnya untuk mencegahnya, apakah solusinya hanya kenaikan harga BBM? Rakyat akan menilai pendapat mana yang benar.
Presiden SBY mencanangkan program "revitalisasi pertanian" (2005). Kemudian ada lagi program reforma agraria yang akan membagikan lahan tidak produktif sekitar 8 juta ha kepada para petani yang tidak punya lahan. Tetapi sampai hari ini kedua program yang bagus itu masih tetap sebatas wacana, belum ada realisasi yang konkret. Tidak heran bahwa kita kelabakan menghadapi kenaikan harga pangan di pasar dunia yang amat tinggi. Kalau kita sudah mewujudkan kedua program diatas, tentu petani kita akan dapat menikmati kenaikan harga pangan dunia.
Bahkan ironisnya pada pertemuan Forum Ekonomi Islam Sedunia ke 4, Pemerintah menawarkan lahan seluas 1,7 juta ha kepada investor Timur Tengah untuk investasi pertanian. Fakta itu menunjukkan bahwa Presiden SBY tidak pro petani kecil. 1,7 juta ha akan bisa memberi kesejahteraan kepada hampir 600.000 petani. Tentu Presiden punya alasan untuk membuat kebijakan itu, tetapi tetap tidak bisa menghapus kesan tidak pro rakyat.
Kalau begitu kenyataannya, maka kita harus mencari Presiden Pro Rakyat. Apa ciri-cirinya? Ciri-ciri pemimpin pro rakyat ialah mereka yang saat menjabat dalam posisi apapun (presiden, menteri, gubernur, pengusaha), membuat kebijakan yang jelas pro rakyat. Pejabat yang menyebabkan puluhan ribu pedagang tradisional tergusur dari Pasar Tanah Abang, Blok M dan pasar lain, karena menyetujui pengembang menetapkan harga sampai beberapa puluh kali lipat biaya pembangunan, jelas tidak pro rakyat.
Petinggi negara yang menyetujui penjualan BUMN strategis kepada invsetor LN dan manut kepada IMF untuk menjual sebuah Bank yang ternyata merugikan negara sekitar Rp 50 T, sulit untuk disebut pro rakyat. Pengusaha yang mengejar rente ekonomi, menjadi amat kaya karena mendapatkan fasilitas yang sebenarnya merugikan negara, juga tidak pro rakyat. Bagaimana dengan tokoh yang tidak dapat dilacak seperti apa sesungguhnya kebijakannya, menguntungkan atau merugikan rakyat? Apakah mereka akan pro rakyat? Amat sulitmenjawabnya.
Janji akan menghapus pengangguran atau kemiskinan tetaplah sebuah janji. Baru akan dapat dibuktikan saat yang berjanji mendapat kesempatan membuktikannya. Janji kampanye SBY membuat rakyat percaya, tetapi ternyata banyak yang tidak dipenuhi. Yang mengherankan, menurut kebanyakan survey selama ini, rakyat tetap memilih SBY. Tetapi kenaikan harga BBM terakhir membuat akseptabilitas SBY menurun drastis. Berarti kebanyakan rakyat menilai kebijakan menaikkan BBM tidak pro rakyat. Belum jelas apakah janji pro rakyat dari tokoh lain akan mendapat perhatian rakyat.
Mungkin diperlukan tidak hanya slogan akan memihak rakyat, tetapi suatu gambaran yang cukup jelas bagaimana sang tokoh akan membuat kebijakan yang betul-betul pro rakyat, dengan bahasa yang jelas, sederhana dan mudah dipahami. Masalahnya bagaimana cara untuk menyampaikan hal itu kepada rakyat? Apalagi jika sang tokoh penyusun program itu belum banyak dikenal rakyat. Iklan TV, yang ternyata efektif, jelas amat mahal (bisa mencapai ratusan milyar) dan tidak terjangkau.
Dari mana datangnya para capres/cawapres? Dalam pilpres 2004, ada dua jenderal dan tiga ketua umum partai yang menjadi capres. Ada satu jenderal, dua pengusaha dan dua tokoh masyarakat yang menjadi cawapres.Tampaknya untuk pilpres 2009 juga tidak akan jauh berbeda.
Dari sejumlah nama yang ada, kira-kira tokoh mana yang pro rakyat? Setiap orang akan memberikan jawaban berbeda untuk sejumlah calon, tetapi akan memberikan jawaban yang sama untuk calon lain, bahwa dia tidak pro rakyat. Yang jelas, hampir semua tokoh kurang memahami masalah ekonomi yang menjadi muara dari semua masalah bangsa kita. Sulit untuk membuat kebijakan pro rakyat kalau pemimpinnya tidak memahami esensi masalah yang kita hadapi.
Ada tokoh yang menguasai masalah ekonomi dan telah menyampaikan pemikiran tentang kebijakan pro rakyat, walaupun masih harus disederhanakan, tetapi nama itu tidak banyak dikenal rakyat. Kalau tidak bisa menjadi capres, perlu dipikirkan kemungkinan kalau tokoh itu terpaksa harus menjadi cawapres. Hal itu baru ada gunanya bila capres yang menjadi mitranya memberi tokoh itu kebebasan untuk menjalankan kebijakan ekonomi pro rakyat.
Tetapi apabila presiden terpilih mempunyai kepentingan lain, berupa kepentingan kelompoknya atau pihak yang mendanai kampanyenya, maka kebijakan ekonomi pro rakyat itu akan mandul. Maka tidak bisa tidak, jejak yang jelas dari capres dalam pemihakan kepada rakyat, harus menjadi syarat utama kalau kita ingin mendapatkan presiden yang betul-betul pro rakyat. Hanya dengan mempunyai presiden yang pro rakyat, kita bisa mengisi kemerdekaan dan betul-betul menghayati makna berbangsa yang sejatinya ialah menghargai dan melindungi hak-hak rakyat.
Medinah, 18 Mei 2008.
Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
Kehidupan kian sulit bagi kebanyakan rakyat, terlebih bagi mereka yang pendapatannya amat kecil. Akibat harga BBM naik tentu kehidupan rakyat kecil semakin susah.
Pemerintah membela diri bahwa tidak ada pilihan selain menaikkan harga BBM. Padahal dulu Presiden SBY menyatakan pada Nopember 2007 bahwa menaikkan harga BBM bukanlah opsi yang akan dimabil Pemerintah. Tentu dalihnya ialah bahwa harga minyak di pasar dunia naik dengan tingkat yang tidak terduga. Seorang ahli dari AS pernah menulis buku (2005) yang mengemukakan pendapat bahwa harga minyak akan mencapai US $ 200/barrel (2010) dan bisa menembus US $ 100/barrel (2008). Tampaknya perkiraan itu diabaikan oleh Pemerintah dengan akibat fatal.
Apakah betul tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah kecuali menaikkan harga BBM? Sejumlah ahli ekonomi menyatakan bahwa masih ada pilihan lain. Rizal Ramli secara terbuka menantang Presiden plus para menteri berdebat tentang masalah itu. RR mengkritik, Pemerin tah beraninya jangan hanya kepada rakyat. Tidak jelas apakah tantangan itu akan diladeni atau tidak. JK menjawab bahwa RR ketika menjadi Menko Perekonomian juga tidak mampu membuat prestasi berarti.
Saya menerima SMS tentang pendapat seorang ahli ekonomi yang isinya "...dengan menaikkan harga BBM 30%, pemerintah menghemat Rp 25-30T. Sekitar Rp 13 T dikembalikan sebagai BLT yang tidak akan efektif. Jadi penghematan netto maksimum adalah Rp 17 T. Jika targetnya Rp 17 T, dengan pajak progresif atas minyak sebenarnya bisa diperoleh maks Rp 15 T. Kalau ditambah gas, batubara, nikel, tembaga, dan perkebunan, tambahan penerimaannya bisa sampai Rp 25 T (termasuk minyak). Belum lagi kalau Pemerintah melakukan penghematan belanja negara hingga 20%, renegosiasi pembayaran bunga utang (termasuk bunga obligasi rekap yang fixed rate) dan pemangkasan calo-calo ekspor dan impor minyak. Jadi kalau hanya untuk hemat APBN, banyak cara yang bisa ditempuh. Karena itu alasan yang sebenarnya bukanlah menghemat APBN, tapi adanya tekanan dari kreditor dan investor asing, yang khawatir nilai asetnya anjlok dan yang ingin mendapat yield lebih tinggi dari bonds yang diterbitkan pemerintah…"
Tentu pendapat tadi belum tentu benar, tetapi argumentasinya masuk akal. Jadi tidak salah kalau banyak yang beranggapan bahwa Presiden SBY tidak pro rakyat. Betul keputusan itu adalah atas saran para menteri dan juga Wapres, tetapi tanggungjawabnya ada pada Presiden. Mungkin atas dasar itu juga Amien Rais mengajak rakyat tidak memilih SBY lagi. Sebaliknya, pihak Pemerintah berpendapat kalau BBM tidak dinaikkan, APBN akan jebol yang akibatnya akan lebih menyengsarakan rakyat. Sejalan dengan pendapat itu, menaikkan BBM itu adalah kebijakan pro rakyat. Betul kalau APBN jebol kita semua akan sengsara. Masalahnya untuk mencegahnya, apakah solusinya hanya kenaikan harga BBM? Rakyat akan menilai pendapat mana yang benar.
Presiden SBY mencanangkan program "revitalisasi pertanian" (2005). Kemudian ada lagi program reforma agraria yang akan membagikan lahan tidak produktif sekitar 8 juta ha kepada para petani yang tidak punya lahan. Tetapi sampai hari ini kedua program yang bagus itu masih tetap sebatas wacana, belum ada realisasi yang konkret. Tidak heran bahwa kita kelabakan menghadapi kenaikan harga pangan di pasar dunia yang amat tinggi. Kalau kita sudah mewujudkan kedua program diatas, tentu petani kita akan dapat menikmati kenaikan harga pangan dunia.
Bahkan ironisnya pada pertemuan Forum Ekonomi Islam Sedunia ke 4, Pemerintah menawarkan lahan seluas 1,7 juta ha kepada investor Timur Tengah untuk investasi pertanian. Fakta itu menunjukkan bahwa Presiden SBY tidak pro petani kecil. 1,7 juta ha akan bisa memberi kesejahteraan kepada hampir 600.000 petani. Tentu Presiden punya alasan untuk membuat kebijakan itu, tetapi tetap tidak bisa menghapus kesan tidak pro rakyat.
Kalau begitu kenyataannya, maka kita harus mencari Presiden Pro Rakyat. Apa ciri-cirinya? Ciri-ciri pemimpin pro rakyat ialah mereka yang saat menjabat dalam posisi apapun (presiden, menteri, gubernur, pengusaha), membuat kebijakan yang jelas pro rakyat. Pejabat yang menyebabkan puluhan ribu pedagang tradisional tergusur dari Pasar Tanah Abang, Blok M dan pasar lain, karena menyetujui pengembang menetapkan harga sampai beberapa puluh kali lipat biaya pembangunan, jelas tidak pro rakyat.
Petinggi negara yang menyetujui penjualan BUMN strategis kepada invsetor LN dan manut kepada IMF untuk menjual sebuah Bank yang ternyata merugikan negara sekitar Rp 50 T, sulit untuk disebut pro rakyat. Pengusaha yang mengejar rente ekonomi, menjadi amat kaya karena mendapatkan fasilitas yang sebenarnya merugikan negara, juga tidak pro rakyat. Bagaimana dengan tokoh yang tidak dapat dilacak seperti apa sesungguhnya kebijakannya, menguntungkan atau merugikan rakyat? Apakah mereka akan pro rakyat? Amat sulitmenjawabnya.
Janji akan menghapus pengangguran atau kemiskinan tetaplah sebuah janji. Baru akan dapat dibuktikan saat yang berjanji mendapat kesempatan membuktikannya. Janji kampanye SBY membuat rakyat percaya, tetapi ternyata banyak yang tidak dipenuhi. Yang mengherankan, menurut kebanyakan survey selama ini, rakyat tetap memilih SBY. Tetapi kenaikan harga BBM terakhir membuat akseptabilitas SBY menurun drastis. Berarti kebanyakan rakyat menilai kebijakan menaikkan BBM tidak pro rakyat. Belum jelas apakah janji pro rakyat dari tokoh lain akan mendapat perhatian rakyat.
Mungkin diperlukan tidak hanya slogan akan memihak rakyat, tetapi suatu gambaran yang cukup jelas bagaimana sang tokoh akan membuat kebijakan yang betul-betul pro rakyat, dengan bahasa yang jelas, sederhana dan mudah dipahami. Masalahnya bagaimana cara untuk menyampaikan hal itu kepada rakyat? Apalagi jika sang tokoh penyusun program itu belum banyak dikenal rakyat. Iklan TV, yang ternyata efektif, jelas amat mahal (bisa mencapai ratusan milyar) dan tidak terjangkau.
Dari mana datangnya para capres/cawapres? Dalam pilpres 2004, ada dua jenderal dan tiga ketua umum partai yang menjadi capres. Ada satu jenderal, dua pengusaha dan dua tokoh masyarakat yang menjadi cawapres.Tampaknya untuk pilpres 2009 juga tidak akan jauh berbeda.
Dari sejumlah nama yang ada, kira-kira tokoh mana yang pro rakyat? Setiap orang akan memberikan jawaban berbeda untuk sejumlah calon, tetapi akan memberikan jawaban yang sama untuk calon lain, bahwa dia tidak pro rakyat. Yang jelas, hampir semua tokoh kurang memahami masalah ekonomi yang menjadi muara dari semua masalah bangsa kita. Sulit untuk membuat kebijakan pro rakyat kalau pemimpinnya tidak memahami esensi masalah yang kita hadapi.
Ada tokoh yang menguasai masalah ekonomi dan telah menyampaikan pemikiran tentang kebijakan pro rakyat, walaupun masih harus disederhanakan, tetapi nama itu tidak banyak dikenal rakyat. Kalau tidak bisa menjadi capres, perlu dipikirkan kemungkinan kalau tokoh itu terpaksa harus menjadi cawapres. Hal itu baru ada gunanya bila capres yang menjadi mitranya memberi tokoh itu kebebasan untuk menjalankan kebijakan ekonomi pro rakyat.
Tetapi apabila presiden terpilih mempunyai kepentingan lain, berupa kepentingan kelompoknya atau pihak yang mendanai kampanyenya, maka kebijakan ekonomi pro rakyat itu akan mandul. Maka tidak bisa tidak, jejak yang jelas dari capres dalam pemihakan kepada rakyat, harus menjadi syarat utama kalau kita ingin mendapatkan presiden yang betul-betul pro rakyat. Hanya dengan mempunyai presiden yang pro rakyat, kita bisa mengisi kemerdekaan dan betul-betul menghayati makna berbangsa yang sejatinya ialah menghargai dan melindungi hak-hak rakyat.
Medinah, 18 Mei 2008.
Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng