About Me
@goeslege. Begitulah namanya. Dipanggil demikian bukan lantaran putra mahkota dari seorang kyai. Juga bukan seseorang yang fasih ketika berbicara agama. Bukan juga seorang paranormal atau dukun yang lebih senang meletakkan sebutan ‘gus’ di depan namanya ketika pasang iklan di media massa. Sejatinya, dia bukanlah siapa2 dan bukan apa2. Dia hanyalah seorang muslim biasa yang merasa menjadi luar biasa karena telah dijadikan muslim oleh yang menciptakannya.
Lahir dan besar di sebuah kota pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk kecongkakan dunia modern. Tepatnya di Kota Ponorogo (Jawa Timur). Selepas SMP, tetiba muncul keinginan untuk menjadi santri di Tebuireng. Sayangnya, baru melek alif ba’ ta’ (1,5 tahun), sudah harus meninggalkan Tebuireng dan kembali ke Ponorogo. Tahun 1996, mencoba hijrah ke Surabaya. Merangkai hidup dan kehidupan dengan menjadi mahasiswa, kemudian menjadi jurnalis (sekitar 6 tahun), sempat menjadi kacung di Telkom Jatim dan akhirnya memilih untuk menjadi pedagang (sampai sekarang).
PERADABAN BERBASIS SPIRITULISME
Beragam aliran filsafat dan teori sosial dihadirkan di tengah kehidupan masyarakat. Mulai dari komunisme, sosialisme, kapitalisme, Leninisme, pragmatisme dan sederetan isme-isme lainnya yang diimplementasikan melalui beragam eksperimen sosial. Semua bertujuan untuk mengantarkan manusia mencapai puncak kehidupan, yaitu kebahagiaan.
Namun apa yang terjadi? Manusia semakin terasing dengan dirinya sendiri. Alih2 memperoleh kebahagiaan yang dicari, yang terjadi malah justru sebaliknya. Masalah sosial terus bermunculan dan hampir selalu menghiasi kolom berita di sejumlah media massa setiap harinya. Mulai dari korupsi, perampokan, pembunuhan, kekerasan, bunuh diri, kelainan jiwa, perkosaan hingga ke penyimpangan seks.
Ironisnya lagi, tatanan kehidupan di jaman sekarang ini sudah mulai menggerogoti jantung pertahanan peradaban. Yakni NILAI. Kearifan lokal yang dibangun para pendahulu, secara perlahan tapi pasti mulai tergerus. Nilai2 seperti saling menghormati, saling peduli, saling menolong, tepo seliro, sopan santun, etika, mendahulukan orang lain, gotong royong, guyub rukun, telah berganti wajah menjadi pragmatisme.
Mengapa jadi seperti ini? Karena teori-teori sosial (sosialisme, kapitalisme, komunisme, dll) yang dijadikan acuan untuk menata kehidupan sosial ini semua bersumber pada MATERIALISME. Sementara materialisme sendiri – dalam pengertian yang sederhana – hanya mengandalkan pada panca indera sebagai instrumennya. Padahal kita semua tahu bahwa kehidupan itu terdiri dari 2 unsur yang saling terkait. Yaitu lahir dan batin. Sebenarnya kalau mau ditarik lebih dalam lagi, batin, ruh, jiwa, atau spirit, itulah hakekatnya kehidupan. Dan kehidupan lahir hanyalah kulit semata. Karena itulah, materialisme terbukti gagal menata kehidupan sosial di sejumlah negara.
Materialisme membentuk manusia menjadi kecil. Padahal, manusia adalah makhluk yang palling dibanggakan Gusti Allah di hadapan makhluk lainnya. Tapi materilasime telah menyulap manusia dari makhluk sosial menjadi makhluk individu. Jangan heran jika tatanan materialisme ini menjadikan manusia lebih bersifat individualis, saling curiga, mengedepankan kepentingan pribadi, serta abai terhadap lingkungan sekitarnya.
Yang paling mengerikan adalah di saat materialisme mencoba merambah wilayah agama. Tuhan yang immaterial dipaksa turun derajat menjadi sesuatu yang meterial. Dan inilah virus paling kronis yang sedang digemari manusia modern. Pada titik esktrim, materialisme telah merubah seorang muslim menjadi seorang teroris. Bahwa menjadi algojo bagi “kaum kafir” itu adalah sebagai bentuk material dari keberagamaan.
Alfaqir ilaa rahmatillah yang bukan apa2 dan bukan siapa2 ini berusaha menggugah siapa saja untuk kembali mengedepankan SPIRIT dalam menjalani hidup. Dan spirit itu harus bersandar pada Pemilik Kehidupan itu sendiri. Bukankah “inni jaa’ilun fil ardli kholifah“? Bahwa manusia itu telah ditunjuk menjadi wakil Allah di muka bumi. Bertindaklah seperti Allah memperlakukan manusia dengan 99 asma-Nya. Dan itu harus menjadi spirit utama dalam kehidupan. Sekecil apapun yang kita lakukan, setidaknya kita telah berupaya MELETAKKAN DASAR PERADADABAN BERBASIS SPIRITUALISME.
Komentar baru tidak diizinkan.