RSS

Salah Kebijakan Atau Korupsi ?


(Tulisan ini dikirim oleh penulis atas permohonan langsung dari pemilik blog ini)

Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan dua pejabat BI lainnya ditetapkan oleh KPK menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi penyaluran dana BI kepada anggota DPR. Gubernur BI mengatakan bahwa itu adalah kebijakan kolektif yang diambil oleh Rapat Dewan Gubernur (RDG). Menurutnya, kebijakan tidak dapat diadili.

Menurut media cetak, kebijakan itu telah diputuskan oleh RDG dibawah Sjahril Sabirin. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah menjabat mulai 20 Mei 2003. RDG itu diadakan pada awal Juni 2003 untuk membahas tindak lanjut hasil RDG sebelumnya, yang memutuskan bahwa untuk memenuhi permintaan bantuan para pejabat BI yang dalam proses peradilan dalam kasus BLBI dan diseminasi informasi tentang BI yang sedang mengalami masalah akibat BLBI, diperlukan dana. Yang sudah dicairkan Rp 25 milyar, dan masih diperlukan lagi dalam jumlah banyak. Karena tidak bisa dimasukkan kedalam anggaran pada pertengahan tahun, maka perlu meminjam dari YLPPI yang akan dikembalikan kalau anggaran sudah ada.



YLPPI tidak bisa memberi pinjaman tanpa persetujuan Dewan Pengawas yaitu dua orang anggota DG (Aulia Pohan dan Maman Somantri). Maka RDG meminta kedua orang itu untuk mengkoordinasikannya. Selanjutnya dibentuk Panitia Pengembangan Sosial Kemasyarakatan (PPSK) untuk melaksanakan diseminasi informasi dan menyelesaikan bantuan hukum itu. Koordinator PPSK ialah Aulia Pohan dan Maman Somantri.

Dari uraian amat singkat diatas, tidak keliru bila menyimpulkan bahwa kalau Burhanuddin Abdullah dinyatakan sebagai tersangka, maka seluruh peserta RDG yang hadir pada rapat-rapat berkaitan masalah itu juga harus menjadi tersangka termasuk Aulia Pohan, Anwar Nasution, Miranda Gultom. Karena sesuai UU BI, keputusan RDG bersifat kolektif. Bahkan Aulia Pohan dan Maman Somantri yang menjadi koordinator PPSK yang menjadi pelaksana hasil RDG seharusnya yang pertama menjadi tersangka.

Apakah para pejabat BI harus menjadi tersangka, kalau hanya menentukan kebijakan? Mungkin penyimpangan berupa pemberian dana kepada sejumlah anggota DPR dan pejabat yudikatif, terjadi ditingkat pelaksana (PPSK). Analoginya, kalau ada kebijakan tentang Raskin lalu terdapat penyimpangan pada pelaksanaannya, apakah yang bertanggungjawab penentu kebijakan atau pelaksana? Kalau kebijakannya salah, pertanggungjawabannya bukan pidana tetapi politis. Atau apakah ada penyimpangan lain yang belum terungkap kepada masyarakat ? Kita coba membandingkan kebijakan RDG itu dengan kebijakan pada instansi lain.

Penjualan Saham BCA

Pemerintah pernah menetapkan suatu kebijakan mengeluarkan obligasi sebesar 430 trilyun untuk menyehatkan perbankan, yang dikenal sebagai obligasi rekapitalisasi perbankan (obligasi rekap). Obligasi itu bersama bunganya mencapai 600 trilyun.
Menurut Kwik Kian Gie (KKG), pada mulanya obligasi itu cuma digunakan sebagai instrumen saja, bukan obligasi sebenarnya. Bila banknya sudah sehat, maka obligasi tersebut bisa ditarik kembali. Tapi ternyata setelah bank itu sudah sehat dan bebas dari kredit macet, maka atas desakan IMF bank-bank itu harus dijual bersama obligasinya. Demi menjadi anak manis dan baik dimata internasional, saran IMF itu diikuti. .

Obligasi yang ditempelkan di BCA berjumlah Rp. 58 trilyun. Menurut KKG, setiap tahun pemerintah membayar bunga sebesar Rp 7 trilyun per tahun. Setelah di nyatakan sehat, 51% saham BCA dijual kepada konsorsium Farallon dan Djarum dengan harga rendah : Rp. 5,3 Trilyun. Bayangkan berapa besar kerugian negara akibat penjualan saham BCA itu. Apakah kebijakan yang tidak bijaksana itu bisa disebut sebagai tindak pidana korupsi? Siapa yang harus bertanggung jawab untuk kebijakan itu?

KKG pernah bercerita langsung kepada saya bahwa dalam sidang kabinet terjadi perdebatan seru tentang penjualan saham itu. Menko Ekonomi, Menteri Keuangan dan Menteri BUMN setuju. KKG tidak menyetujui penjualan itu sebelum obligasinya dikeluarkan terlebih dulu. Sidang kabinet tidak bisa memutuskan dan ditutup, lalu dilanjutkan dengan rapat menteri-menteri bidang ekonomi. Rapat itupun tidak bisa memutuskan dan akhirnya diserahkan kepada Menko Ekonomi dan beberapa menteri lain tanpa KKG untuk melapor kepada Presiden Megawati yang akhirnya menyetujui penjualan yang meru gikan negara lebih dari lima puluh trilyun itu.

Apakah Presiden Megawati bisa disebut melakukan tindak pidana korupsi walaupun kebijakannya yang salah itu jelas-jelas merugikan negara dan menguntungkan pihak lain? Tidak. Kecuali yang memutuskan kebijakan itu menerima dana dari pembeli BCA itu. Bahkan secara politispun tidak banyak yang mempermasalahkannya, padahal kebijakan itu jelas merugikan negara dan menunjukkan betapa kita tidak punya martabat dan tidak punya keberanian menghadapi tekanan IMF.

Peremajaan Pasar di DKI

Pada 29-8-2005 Pasar Blok M terbakar. Tanggal 17-5-2006 PD Pasar Jaya membuat perjanjian kerjasama dengan PT Melawai Jaya Realty (MJR) untuk membangun kembali pasar yang terbakar itu menjadi Blok M Square. Penunjukan PT MJR itu menimbulkan banyak pertanyaan mulai dari tidak adanya proses yang transparan, modal yang cuma Rp 400 juta, sampai dengan pendirian perusahaan yang mencurigakan (Kompas, 22-1-2007). Apalagi belum lama ditunjuk sebagai pengembang, pemegang saham mayoritas PT MJR melepas seluruh sahamnya (92,5%) pada perusahaan lain (Kompas, 1-2-2007). Kesan adanya permainan dalam penunjukan pengembang itu amat kuat.

Biaya pembangunan gedung menurut pejabat PD Pasar Jaya adalah sekitar Rp 3,1 juta/m2. Kalau diperhitungkan 30% luas bangunan digunakan untuk sirkulasi dan kepentingan umum lain, maka biaya pembangunan adalah sekitar Rp. 4,5 juta/m2 Harga yang ditentukan oleh pengembang – tentu dengan persetujuan PD Pasar Jaya - amat tidak wajar dan di luar kemampuan para pedagang itu. Harga termurah adalah Rp 27,5 jt/m2 dan harga termahal Rp 60 jt/m2. Kita bisa mengambil harga rata-rata adalah Rp 45 juta/m2.

Down Payment sebanyak 30% harus dibayarkan pedagang selama 18 bulan sejak lahan masih berupa tanah kosong sisa pembongkaran bangunan lama. 2,5 lantai diperuntukkan bagi pedagang lama dan 5,5 lantai menjadi konsesi pengembang untuk dijual pada pedagang besar, termasuk yang semacam Carrefour. Dari pembayaran DP 30%, pengembang memperoleh dana sebesar Rp 13,5 juta/m2, padahal biaya pembangunan gedung itu hanya Rp. 4,5 juta/m2.
Untuk kasus Blok M Square terdapat kerugian, tidak jelas negara atau masyarakat yang dirugikan. Yang jelas, ada dana yang sesungguhnya bisa dihemat. Harga jual rata-rata untuk pedagang lama maupun baru adalah Rp. 42,5 juta per m2. Yang diperjualbelikan adalah 70% X 158.000 m2 = 110.000 m2. Maka penghematannya ialah 110.000 X Rp. 42,5 juta dikurangi biaya pembangunan (Rp. 495 milyar) = Rp. 4,18 trilyun.

Pasar lain yang lebih menghebohkan ialah Pasar Tanah Abang. Sudah selama sekian tahun, ribuan pedagang tradisional tergusur dari sana, karena tidak mampu membeli kios baru yang harganya selangit. Dalam waktu dekat Blok B,C,D,E akan dibongkar, yang akan dimulai dengan lelang pembongkaran bangunan Blok C dan E. Didalam blok-blok itu terdapat sekitar 3.500 pedagang yang terpaksa kehilangan pekerjaan karena tidak mampu membeli kios.

Harga yang ditawarkan jauh lebih dahsyat daripada Blok M Square. Kalau kita anggap biaya pembangunan adalah Rp 6 juta/m2, maka harga rata-rata yang ditentukan oleh pengembang adalah sekitar 60 kalinya. Saya tidak punya data tentang luas tepat dari Blok B,C,D,E itu. Kalau mengacu pada Blok M Square yang menampung sekitar 1.500 pedagang tradisional, maka luasnya saya anggap sekitar 2,3 kali Blok M Square. Kalau selisih harga rata-rata dengan biaya pembangunan per m2 sekitar 6 kali di Pasar Blok M, maka dana yang tidak jelas pos penggunaannya yang merugikan masyarakat adalah sekitar 2,5 X 6 X 4 trilyun = 60 trilyun.
Sekali lagi ini hanya taksiran kasar, pasti berbeda dengan kenyataan yang ada. Itu hanya untuk menggambarkan besaran dana masyarakat yang mencapai jumlah puluhan trilyun yang terserap akibat kebijakan yang perlu dipertanyakan. Mengapa harus sebegitu besar harga yang ditetapkan? Apakah pengambil keputusan menerima dana dari pengembang? Kalau tidak, mengapa dia mengambil kebijakan yang amat merugikan masyarakat ? Apakah kebijakan yang melanggar UUD itu dapat disebut korupsi? Apakah kebijakan itu melanggar UU atau melanggar asas-asas fairness dalam persaingan usaha yang sehat?

Pasti ada aturan atau ketentuan dan ada lembaga pemerintah yang bisa mencegah kebijakan yang merugikan pedagang dan merugikan konsumen, karena harga jual pedagang pasti menjadi mahal dan hanya menguntungkan segelintir orang. Perlu dipertimbangkan dan dikaji apakah kontrak dengan pengembang di Pasar Tanah Abang, Blok M Square dan banyak lagi lainnya, dapat dibatalkan. Kalau tidak, kebijakan yang amat merugikan masyarakat itu akan terus berlangsung.

Tebuireng, 10 Pebruari 2008


Salahuddin Wahid
Pengasuh Pesantren Tebuireng
0 komentar

Posted in

Posting Komentar

Ada Komentar ?

By MasKaji. Diberdayakan oleh Blogger.