RSS

Salah Kebijakan Atau Korupsi ?


(Tulisan ini dikirim oleh penulis atas permohonan langsung dari pemilik blog ini)

Gubernur BI Burhanuddin Abdullah dan dua pejabat BI lainnya ditetapkan oleh KPK menjadi tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi penyaluran dana BI kepada anggota DPR. Gubernur BI mengatakan bahwa itu adalah kebijakan kolektif yang diambil oleh Rapat Dewan Gubernur (RDG). Menurutnya, kebijakan tidak dapat diadili.

Menurut media cetak, kebijakan itu telah diputuskan oleh RDG dibawah Sjahril Sabirin. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah menjabat mulai 20 Mei 2003. RDG itu diadakan pada awal Juni 2003 untuk membahas tindak lanjut hasil RDG sebelumnya, yang memutuskan bahwa untuk memenuhi permintaan bantuan para pejabat BI yang dalam proses peradilan dalam kasus BLBI dan diseminasi informasi tentang BI yang sedang mengalami masalah akibat BLBI, diperlukan dana. Yang sudah dicairkan Rp 25 milyar, dan masih diperlukan lagi dalam jumlah banyak. Karena tidak bisa dimasukkan kedalam anggaran pada pertengahan tahun, maka perlu meminjam dari YLPPI yang akan dikembalikan kalau anggaran sudah ada.

0 komentar

Posted in

Mencari Presiden Pro Rakyat


(Tulisan ini dikirim dari penulisnya atas permohonan langsung dari pemilik blog ini)

Kehidupan kian sulit bagi kebanyakan rakyat, terlebih bagi mereka yang pendapatannya amat kecil. Akibat harga BBM naik tentu kehidupan rakyat kecil semakin susah.
Pemerintah membela diri bahwa tidak ada pilihan selain menaikkan harga BBM. Padahal dulu Presiden SBY menyatakan pada Nopember 2007 bahwa menaikkan harga BBM bukanlah opsi yang akan dimabil Pemerintah. Tentu dalihnya ialah bahwa harga minyak di pasar dunia naik dengan tingkat yang tidak terduga. Seorang ahli dari AS pernah menulis buku (2005) yang mengemukakan pendapat bahwa harga minyak akan mencapai US $ 200/barrel (2010) dan bisa menembus US $ 100/barrel (2008). Tampaknya perkiraan itu diabaikan oleh Pemerintah dengan akibat fatal.
0 komentar

Posted in

Reformasi Sambil Onani


Hari ini sepuluh tahun lalu. Para aktivis menyambut jatuhnya Rezim Orde Baru dengan gegap gempita. Sorak sorai bergemuruh di mana-mana. Di ibu kota dan di kota-kota kecil, di sekitar istana dan di kampus-kampus, di ruang lobi hotel dan di warung-warung kopi, di ruang paviliun dan di sekitar ponten terminal, di sela jlepitan koper dan di balik jahitan kutang. Pokoknya di seluruh jagad angkasa nusantara hingga ke liang lahat.

Sebuah tonggak sejarah baru bagi kehidupan bangsa. Sebuah sirine yang menandai makin dekatnya tatanan demokratis yang telah diimpi-impikan selama bertahun-tahun. Dan sebuah harapan baru yang dipercaya dapat mengobati luka lama akibat ketidakadilan dan penindasan yang menjadi nafas kehidupan. Seolah-olah bangsa ini baru saja menemukan “tuhan” baru yang hanya dengan kata sim salabim dapat merubah segalanya menjadi lebih baik.

0 komentar

Posted in

Lha lak thekor aku !!!


Pagi itu Totok duduk selonjor di emperan halaman rumah saya. Ia duduk tepat di samping sepeda motornya yang sedang membonceng dua keranjang penuh sayuran. “Sayur…sayur,” teriaknya sembari mengelap tetesan keringat yang meluncur menelusuri ruas wajahnya.

Ya, Totok adalah tukang sayur yang setiap pagi melintas di gang rumah. Usianya sekitar 30 tahunan. Karena sudah langganan, saya pun tahu dari istri bahwa dia sudah beranak dua. Yang pertama SMP, dan yang kedua masih duduk di bangku SD.

Entah kenapa, pagi itu tiba-tiba nalar saya menggelitik untuk mencari korelasi antara Totok dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Sudah bisa ditebak, yang terlintas di pikiran saya hanya ada satu. Yakni sebuah justifikasi yang dilandasi sikap pesimis sehingga menempatkan Totok sebagai korban yang terabaikan.

Totok, barangkali, adalah sebuah deskripsi dari kesengsaraan wong cilik. Bagaimana tidak ? Yuk, kita hitung bareng-bareng. Tapi jangan dibayangkan ilmu yang akan kita pakai untuk menghitung adalah ilmu beneran seperti layaknya seorang pakar ekonomi atau jago hitung dari perguruan menara gading. Tidak. Ini hanyalah ilmu goblok-goblokan ala warung kopi.

Untuk menghidupi keluarganya, Totok hanya mengandalkan hasil dari berjualan sayur. Dengan kata lain, keuntungan dari berjualan sayur adalah satu-satunya sumber penghasilan baginya. Taruhlah Totok adalah satu-satunya pedagang sayur yang paling mujur sedunia karena bisa meraup laba Rp 1 juta perhari (wuik…ngalah-ngalahne dodolan hp). Berarti sebulan Totok bisa mengantongi Rp 30 juta.

Sekali lagi, berjualan sayur adalah satu-satunya penghasilan bagi Totok. Padahal, lubang pengeluaran sangat banyak. Dari uang Rp 30 juta itu, Rp 20 juta diberikan kepada istrinya untuk belanja kebutuhan sehari-hari. Seperti beli beras, minyak goreng, gas elpigi, sabun mandi, sikat, odol, sabun cuci, sampai beli pembalut untuk istrinya ketika sedang kedatangan tamu.

Sisa Rp 10 juta. Yang Rp 5 juta dialokasikan untuk kedua anaknya. Digunakan untuk membayar uang SPP sekolah, buku tulis, buku pelajaran, pensil, penghapus, dan lain-lain. Juga termasuk uang jajan untuk beli pentol cilot, tempura, arbanat, jireng, pop ice, ice cream, es lilin sampai mainan anak-anak. Sebagian lagi untuk biaya langganan antar jemput sekolah bagi kedua anaknya.

Masih sisa Rp 5 juta. Totok memanfaatkan sisa uangnya untuk membayar tagihan listrik, air, telepon, PDAM, bayar asuransi, biaya langganan TV Kabel, tagihan Telkom Speedy sampai tagihan kartu kredit. Ludes sudah uang hasil jualan sayur sebanyak Rp 30 juta.

Tiba-tiba, pemerintah menaikkan harga BBM. Sebagaimana tradisi sebelumnya, kenaikan harga BBM selalu diikuti kenaikan harga-harga lainnya. Hanya satu yang tidak terpengaruh kenaikan harga BBM, yakni harga diri. Dari jaman nenek moyang sampai era globalisasi ini, harga diri bangsa ini ya segitu-segitu aja.

Suatu hari, kedua anaknya menghadap ke Totok. “Pa, mulai besok jatah uang kami berdua harus dinaikkan. Minimal Rp 10 juta. Pokoknya harus,” kata anaknya yang sulung.

Totok segera meminta klarifikasi kepada kedua anaknya. Kedua anaknya pun menyerahkan satu bendel proposal kepada Totok. Buru-buru Totok menyambar bendelan proposal itu dan langsung mempelajarinya. Ternyata, sejak pemerintah menaikkan harga BBM, uang SPP otomatis ikut naik. Harga buku tulis naik, buku pelajaran naik, pensil naik, penghapus naik. Begitu juga di pos belanja makanan dan minumunan. Harga pop ice naik, ice cream naik, pentol cilot naik, tempura naik, arbanat naik, jireng apalagi. Tak mau ketinggalan biaya langganan antar jemput sekolah juga ikut naik.

Belum selesai Totok lenger-lenger, istrinya datang dan langsung melemparkan proposal yang tebalnya dua kali lipat. “Mulai bulan depan, jatah bulanan harus di atas Rp 35 juta,” tukas istrinya.

Apa-apaan ini ? Begitu pikir Totok. Dia pun buru-buru membaca lembar demi lembar proposal yang disusun istrinya. Harga beras naik, kecap naik, minyak goreng naik, gas elpiji naik, sabun mandi naik, sabun cuci naik, sikat naik, odol naik. Termasuk roti tawar kesukaan istrinya alias pembalut juga naik.

Totok hanya terdiam. Sesaat kemudian dia mengambil laptop dan menyalakannya. Ia berusaha mempelajari pembukuan hasil jualan sayurnya. Dulu, harga kulakan iwak tongkol cuman Rp 2.000. Dijual Rp 3.000. Berarti untung Rp 1.000. Tapi sekarang, kulakannya jadi Rp 3.000. “Saya jual Rp 4.000. Berarti untung saya tetap Rp 1.000 dong,” pikirnya.

Lalu Totok mengintip pergerakan harga lombok. Dulu, kulakannya Rp 6.000 dijual Rp 8.000. Berarti untungnya Rp 2.000. Tapi sejak BBM naik, kulakannya saja jadi Rp 9.500. “Tapi tadi tak kasih ke Bu Pardi Rp 11.500. Nah, untung saya tetap Rp 2.000. Lha wong coba saya tawarkan Rp 12.000 banyak yang mencak-mencak,” Totok mengernyitkan dahi.

Totok semakin berpikir keras. Ia jadi teringat pelajaran sewaktu ambil program S3 di Havard Univercity. Ia berusaha membuat sebuah kesimpulan. Kalau dulu sebelum BBM naik, omzet penjualannnya Rp 100 juta perbulan. Dari angka itu dapat untung Rp 30 juta perbulan. Nah sekarang, omzetnya naik tajam hingga menembus Rp 175 juta perbulan.

“Tapi, untung saya tetap Rp 30 juta perbulan. Berarti kenaikan BBM hanya akan menaikkan omzet. Tapi tidak menaikkan laba. Padahal, kebutuhan naik ga karuan. Istri yang dulu hanya diberi Rp 20 juta perbulan sekarang minta Rp 35 juta perbulan. Anak yang dulu saya beri Rp 5 juta sekarang minta Rp 10 juta perbulan. Lha…lak thekor aku,” teriak Totok.

Ya, sekali lagi Totok hanyalah deskripsi khayalan saya tentang sosok wong cilik yang memilih jalan berdagang. Bahwa ternyata, kenaikan harga BBM hanya akan menaikkan omzet penjualan saja. Tapi tidak menaikkan profit. Kalaupun ada kenaikan profit, jelas prosentasenya relatif lebih kecil dibandingkan pergerakan harga kebutuhan yang harus dikeluarkan.

Asumsi ini bisa dibenarkan. Mengapa ? Sebab sekalipun harga kulakan mengalami lonjakan, tapi untuk mendapatkan profit margin yang lebih besar, pedagang akan berpikir seribu kali. Sebab, dia harus berhadapan dengan para pembeli yang sudah dipusingkan oleh kenaikan harga. Apalagi di tengah sengitnya persaingan bisnis, menaikkan harga yang dilatarbelakangi motivasi untuk menaikkan profit margin, jelas bukan pilihan yang tepat untuk bisa survive. Akan sangat berbeda jika kenaikan harga disebabkan naiknya harga kulakan dengan asumsi profit margin yang tetap. Pilihan ini akan lebih bisa diterima konsumen.

Jika ilmu goblok-goblokan ini bisa diuji kebenarannya secara ilmiah, berarti hakekatnya Totok sedang bergerak menuju garis kemiskinan. Apalagi jika Totok hanya berpangku tangan dengan bersandar pada rutinitas yang selama ini dilakukan, asumsi ini tentu saja semakin mendekati kebenaran. Artinya lagi, jumlah warga miskin akan semakin bertambah dari tahun ke tahun.

Saya teringat lagunya Rhoma Irama. “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Pada saat bersamaan, lamunan saya tentang kemiskinan pun menghilang. Ketika itu saya sadari bahwa Totok yang tadinya beristirahat di emperan halaman rumah sudah pergi menjajakan dagangannya. Yang tersisa di emperan halaman rumah saya hanyalah semangat Totok yang sedang bercengkerama dengan ancaman kemiskinan yang semakin dekat.
1 komentar

Posted in

Penunggang Demo Adalah Kolor Ijo


Belakangan ini demo menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM makin digandrungi. Sebagaimana tradisi sebelumnya, demo kali ini juga dipelopori mahasiswa. Baik yang masih aktif kuliah, sedang skripsi maupun yang sedang terancam DO (Drop Out). Situasinya hampir sama dengan pada saat Reformasi ‘98. Hanya bedanya, pada tahun 98 hukum mahasiswa yang tidak ikut demo adalah haram. Saking haramnya, sampai-sampai malaikat seolah-olah tutup mata dengan kabar adanya temuan kondom yang berserakan di sekitar Gedung MPR/DPR pada hari puncak reformasi.

Sedangkan sekarang tidak demikian. Mahasiswa yang tidak ikut demo hanya dihukumi sebatas makruh saja. Paling-paling mentok hukumnya hanya berubah menjadi fardlu kifayah (kalau sudah ada yang mengerjakan, maka yang lain gugur kewajiban, red). Jadi jangan heran jika jumlah demonstran kali ini masih sepersekian dari jumlah peluru aparat. Jumlah yang masih sangat lemah untuk bisa menjebol pagar halaman Gedung Grahadi. Apalagi menembus barikade polisi yang membentuk formasi pagar betis.

Meski penggemar demo sekarang masih sebatas jumlah kecik dalam permainan dakon, namun cukup menarik untuk diperhatikan. Sebab, isu yang diangkat adalah penolakan terhadap rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Secara politik, pemilihan isu tersebut otomatis menempatkan mahasiswa pada posisi vis a vis dengan negara (baca : pemerintah, red).

Konon, siapapun yang mengkritisi negara pasti akan berhadapan dengan penguasa. Dan, penguasa akan memanfaatkan semua instrumen negara untuk melakukan serangan balik atau setidaknya membuat benteng pertahanan diri. Minimal menyiapkan rasionalisasi untuk berkelit. Sebab dalam konteks seperti ini, rasanya tidak mungkin jika kemudian penguasa memilih lari sambil tutup mata dan tutup telinga lalu bersembunyi di bawah Jembatan Jagir atau di dekat Pintu Air Manggarai.

Dalam episode sejarah kali ini juga demikian. Aksi demonstrasi mahasiswa di mana-mana mendapat tanggapan balik dari pihak kerajaan. Mulai dari perdana menteri, patih, adipati, hulubalang, permaisuri, selir sampai punakawan dimobilisir. Jika perlu jin, perewangan dan danyang-danyang istana juga diterjunkan untuk menghadapi mahasiswa.

Adalah Kepala BIN Sjamsir Siregar yang keluar kandang duluan. Dengan menggunakan ajian khas warisan nenek moyang (baca : orde baru, red), Sjamsir mencoba menelanjangi gerakan mahasiswa. Kepada wartawan ia mengatakan, aksi demo mahasiswa sudah ditunggangi oleh mantan menteri dan pejabat. Barangkali inilah yang disebut ajian ‘lempar batu sembunyi tangan’ yang pernah diajarkan semasa SD dulu.

Entah kenapa, tiba-tiba saya jadi teringat drama sinetron tanpa aktor berjudul Kolor Ijo. Sinetron yang pernah tayang di hampir seluruh daerah ini benar-benar menggemparkan masyarakat. Sinetron ini makin digandrungi setelah media memblow up sampai beberapa seri. Saking menasionalnya isu ini, sampai-sampai dokter bedah pun harus menghentikan operasi hanya sekedar untuk menonton berita di tv seputar hantu Kolor Ijo.

Meski sudah menjadi gosip nasional, namun aktor sinetron ini tidak pernah nyata. Belum ada satu pun cerita yang menyebutkan bahwa Kolor Ijo tertangkap. Andai saja Kolor Ijo tertangkap saat ini juga, pasti jadi rebutan. Terutama bagi warga Jatim. Sebab, ada yang meyakini kolor-kolor ini bisa digunakan untuk penunjuk jalan menuju Grahadi. Makanya sudah ada orang yang antre untuk mengganti Kolor Ijo menjadi Kolor Merah. Ada juga yang ancang-ancang menyiapkan Kolor Kuning, Kolor Biru muda, Kolor Biru Tua, Kolor Ijo muda dan Kolor Ijo Tua (sayangnya pemilik Kolor Putih ketinggalan kereta).

Gosip seputar Kolor Ijo ini juga sama dengan SMS Santet yang belakangan sering masuk tv. Meski identifikasi tentang apa dan siapanya masih menjadi tanda tanya yang tersimpan di kolor setiap orang, tapi kehadirannya dapat dirasakan. Tanda-tandanya terlihat jelas. Dengan kata lain, aromanya bisa dicium, dirasakan, tapi tak bisa dipegang.

Pun begitu dengan gerakan mahasiswa. Keterlibatan ‘tangan-tangan beruang’ sudah pasti ada. Bahkan mungkin sejak jaman Nabi Adam, gerakan mahasiswa ya memang seperti itu. Selalu ditunggangi oleh ‘tangan-tangan beruang’. Wajar. Jangankan aksi politik yang mengudara ke jagad nasional, orang jongkok di kakus saja bisa ditunggangi sama politisi. Sebab, urusan tunggang-menunggang memang selalu menggoda. Bukan hanya dalam hal ideologis, tapi juga sampai ke hal yang biologis. Lha wong politisi yang ideologis saja bisa menunggangi yang berbau biologis kok (kasus Maria Eva ?).

Jika demikian, so what gitcu looohhhh ??? Masalahnya adalah, pentingkah terlibat perang opini di ruang yang sengaja diciptakan oleh penguasa ? Tentu, ukurannya adalah rakyat. Artinya, adu mulut untuk mengklarifikasi hal ini jelas-jelas tidak memberikan solusi bagi rakyat atas kenaikan harga BBM. Sebab di dunia ini, kata filosof, ada 4 kategori masalah. Yakni benar dan penting, benar tapi tidak penting, tidak benar tapi penting dan yang terakhir adalah tidak benar dan tidak penting.

Kearifan dalam mengkategorikan masalah inilah yang perlu diperhatikan. Karena itu, para mahasiswa perlu menjaga stamina dan konsentrasinya. Tidak perlu mengkonsumsi Kuku Bima, Fatigon, atau pun Kratingdeng untuk menjaga stamina. Pun tidak perlu mengkonsumsi Cerebrofit atau apalah untuk menjaga konsentrasi. Yang diperlukan hanyalah mengasah kepekaan sosial. So, biarlah Kepala BIN menggonggong, yang penting tetap TOLAK KENAIKAN BBM !!!!
0 komentar

Posted in

By MasKaji. Diberdayakan oleh Blogger.